Ibuku...
Ibuku adalah seorang ibu pekerja, guru bahasa Inggris di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Surabaya. Sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk tidak merengek ketika bangun tidur dan pulang sekolah tanpa melihat wajahnya. Ibuku berangkat pagi-pagi sebelum aku bangun dan pulang sore hari ketika aku masih terlelap dalam tidur siangku. Aku memang sangat menyayangkan masa kecilku berlalu begitu cepat sementara Ibuku cukup sibuk dengan pekerjaannya. Tapi bukan berarti aku tidak dekat dengan Ibuku, memang aku tidak sedekat teman-temanku dengan ibu mereka yang kebanyakan ibu mereka adalah seorang ibu rumah tangga. Kami memang jarang memiliki waktu bersama, Ibuku bangun pagi sekali menyiapkan sarapan dan susu, mencuci piring, kemudian bersiap-siap berangkat kerja, pulang kerja menyiapkan makanan, istirahat sebentar, membersihkan rumah, mengerjakan tugas-tugas sekolah yang dibawa pulang dan mempersiapkan tugas untuk esok hari, kemudian tidur.
Suatu ketika ketika aku masih kecil, aku pernah marah karena Ibuku hampir tidak pernah mengambil raportku, Bapakku yang mengambilnya, aku merasa Ibuku tidak sayang padaku dan aku langsung menanyakan kepadanya kenapa melakukan semua ini padaku, sambil sedikit menangis. Ibuku menjelaskan, setiap orang memiliki cita-cita, harapan, dan impian, begitu juga dengan Ibuku, jangan bergantung pada Bapak, tidak apa-apa kalau Ibu dan Bapak sama-sama bekerja karena itu berarti uang yang kita miliki lebih banyak, Ibu sama Bapak memiliki cita-cita, impian, dan harapan yang berbeda-beda, jadi mereka sama-sama untuk mewujudkannya, saling membantu. Ibuku membeli TV, Bapakku membeli motor, begitu misalnya. Jadi kelak, jika aku sudah menikah, jangan bergantung sama suami, karena aku dan suamiku memiliki cita-cita, harapan, dan impian yang berbeda-beda, wujudkan bersama-sama saling membantu. Sebenarnya sejak kecil aku juga sering diajak ibuku ke sekolah, melihatnya mengajar, aku duduk di bangku guru dan murid-muridnya memperhatikanku dan mengajakku bermain, ketika perpisahan sekolah, sembilan tahun berturut-turut aku selalu ikut ke Bali sampai akhirnya aku sudah cukup dewasa untuk tidak ikut lagi dalam acara perpisahan itu. Sejak itu, aku sadar dan mulai mengerti pekerjaan ibuku. Aku tahu, aku tidak akan makan enak, memakai pakaian sepatu tas layak jika Ibuku tak berkerja. Penghasilan Bapak memang lebih dari cukup, tapi dengan Ibu bekerja, maka penghasilan keluarga bertambah.
Sekarang, menurutku Ibuku lebih santai dalam pekerjaannya. Kami lebih sering mengobrol, jalan-jalan bersama, dan belanja bersama. Semua perlu disyukuri bukan karena aku masih memiliki kesempatan bersamanya di umurku yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Kadang merasa bersalah jika aku terus-terusan meminta uang padanya untuk membeli buku, maka itu aku ingin sekali dan kelak pasti aku akan membalas semuanya meskipun Ibuku sering bilang kalau ia tidak akan meminta balasan apapun atau uang sepeserpun dari anak-anaknya ketika tua, Ibuku memiliki tabungan 'diam-diam' untuk masa tuanya, ah ucapan itu membuatku tercengang dan mataku berkaca-kaca.
Setiap minggu, Ibuku selalu bertanya masakan apa yang ingin aku makan. Misalnya, sewaktu aku ingin kepiting atau jantung ayam pedas manis yang memang makanan kesukaanku, keesokan harinya langsung memasakkannya untukku. Yang paling menyenangkan, Ibuku khusus memasakkannya untukku karena semua orang di rumah tidak ada yang suka kepiting atau jantung ayam.
Aku ingat bagaimana Ibu menjagaku ketika opname usus buntu di rumah sakit, tidak pernah lelah mendampingiku, menyuapi makanan, menyeka tubuhku, mengantar dan menopangku ke kamar mandi. Bapakku meminta bergantian dengan menyuruh Ibu pulang, tetapi ia tidak mau. Malam itu di dalam kamar rawat, aku menangis sangat bersyukur kepada Allah telah memberiku seorang Ibu yang kuat, tegar, dan tabahnya luar biasa.
Pernah sekali aku membuat Ibuku menangis, yang jelas karena sesuatu hal, yang mungkin fatal, dan aku merasa sangat bersalah. Sebenarnya Ibuku tidak menangis, tetapi karena aku menangis jadi Ibu tidak tega melihatku. Kami berpelukan, Ibuku termasuk orang yang tenang, mencoba menenangkanku, mengatakan bahwa tidak ada gunanya menyesal, harus menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.
Salah satu yang kusuka dari Ibuku, dia termasuk orang yang simple tetapi tetap bertanggung jawab, menyerahkan semua keputusan kepada anak-anaknya, bukan mengatur tapi mengarahkan. Ibuku tidak pernah mempermasalahkan keputusan seseorang, termasuk anak-anaknya. Bagi Ibuku tidak masalah berbeda dengan orang lain selama perbedaan itu masih dianggap wajar, tidak masalah berbeda pendapat dengan orang lain selama hasil yang didapat atau tujuan akhirnya sama.
Aku ingat bagaimana Ibu menjagaku ketika opname usus buntu di rumah sakit, tidak pernah lelah mendampingiku, menyuapi makanan, menyeka tubuhku, mengantar dan menopangku ke kamar mandi. Bapakku meminta bergantian dengan menyuruh Ibu pulang, tetapi ia tidak mau. Malam itu di dalam kamar rawat, aku menangis sangat bersyukur kepada Allah telah memberiku seorang Ibu yang kuat, tegar, dan tabahnya luar biasa.
Pernah sekali aku membuat Ibuku menangis, yang jelas karena sesuatu hal, yang mungkin fatal, dan aku merasa sangat bersalah. Sebenarnya Ibuku tidak menangis, tetapi karena aku menangis jadi Ibu tidak tega melihatku. Kami berpelukan, Ibuku termasuk orang yang tenang, mencoba menenangkanku, mengatakan bahwa tidak ada gunanya menyesal, harus menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.
Salah satu yang kusuka dari Ibuku, dia termasuk orang yang simple tetapi tetap bertanggung jawab, menyerahkan semua keputusan kepada anak-anaknya, bukan mengatur tapi mengarahkan. Ibuku tidak pernah mempermasalahkan keputusan seseorang, termasuk anak-anaknya. Bagi Ibuku tidak masalah berbeda dengan orang lain selama perbedaan itu masih dianggap wajar, tidak masalah berbeda pendapat dengan orang lain selama hasil yang didapat atau tujuan akhirnya sama.
Terima kasih Ibu, sudah membesarkanku sampai sekarang ini, menemaniku sampai usiaku yang tidak lagi muda ini. Aku berharap kelak bisa membalas semuanya yang telah engkau berikan padaku, menghadiri wisudaku, melihatku menikah, menemaniku melahirkan, menggendong anakku. Bahagia dan bersyukurnya memiliki Ibu seperti dia yang tidak hanya mengajarkanku berjalan dan berbicara, tetapi mengajariku kehidupan.